
Minyak Warisan Rempah Nusantara
Repost - suaramerdeka.com
Kuntoro Boga Andri Kepala BRMP Perkebunan, Kementan
Indonesia bukan sekadar gugusan pulau tropis yang eksotis, melainkan simpul sejarah dengan kekayaan alam dan biodiversitas yang pernah menjadi pusat peradaban dunia. Dengan lebih dari 275 jenis rempah yang tumbuh di berbagai penjuru Nusantara, negeri ini pernah memegang kendali jalur perdagangan global sejak abad ke-15. Jejaknya bahkan lebih tua, di mana serbuk kunyit dan cengkeh telah ditemukan dalam makam Firaun Mesir abad ke-13 SM.
Sementara pada relief Candi Borobudur diabadikan komoditas kunyit, jahe, kayu cendana, adas pulo waras, sirih, sereh, kapulaga, jeruk purut, merica dan kayu secang, sebagai bagian dari kuliner dan ritual pengobatan masyarakat Jawa kuno.
Sejak berabad-abad yang lalu, rempah bukan sekadar bumbu dapur. Ia adalah perekat diplomasi, penggerak ekspedisi, dan pengukir sejarah. Pala dan cengkeh dari Maluku menjadi rebutan bangsa Eropa.
Lada dari Sumatra telah membuat pelabuhan-pelabuhan Nusantara seperti Malaka dan Sunda Kelapa menjadi melting pot budaya yang merangkai pertemuan antara Timur dan Barat. Namun rempah tak hanya membentuk peradaban masa lalu, tetapi masih hidup dan relevan dalam denyut ekonomi Indonesia modern. Pada momentum ini, rempah layak dijadikan kembali sebagai instrumen strategis kekuatan pembangunan nasional.
Sumbangsih Ekonomi dan Budaya
Data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) menunjukkan bahwa ekspor rempah Indonesia pada periode Januari–November 2023 mengalami kenaikan signifikan. Yakni 29,77 persen secara tahunan, dengan nilai mencapai Rp 9 triliun atau setara US$ 564 juta. Indonesia menguasai lebih dari 70 persen pangsa pasar global untuk cengkeh, dan menempati posisi kedua dunia dalam ekspor lada.
Sayangnya, ekspor produk rempah Indonesia masih didominasi bahan mentah. Indonesia menempati peringkat kelima dunia untuk ekspor rempah utuh (US$ 469 juta atau sekitar Rp. 7,6 triliun). Namun hanya berada di posisi ke-18 untuk produk olahan (US$ 360 juta atau sekitar Rp. 5,8 triliun). Padahal, nilai tambah dari rempah olahan bisa meningkat lima hingga tujuh kali lipat dibanding bentuk mentah.
Hilirisasi jelas menjadi kunci agar rempah tidak lagi menjadi "komoditas murah", melainkan produk bernilai tinggi yang kompetitif di pasar dunia. Lebih dari itu, jenis komoditas rempah menopang hajat hidup jutaan petani kecil di pedesaan. Dari ujung Aceh hingga Fakfak, jutaan keluarga menggantungkan hidupnya pada lada, pala, kapulaga, kayu manis, dan jahe.
Oleh karena itu, kebijakan yang menyasar penguatan sektor ini akan berdampak langsung pada penanggulangan kemiskinan dan penguatan ekonomi lokal. Sejak 2017, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek menginisiasi "Jalur Rempah" untuk didaftarkan sebagai Warisan Budaya Dunia UNESCO.
Upaya ini bukan sekadar nostalgia, melainkan strategi diplomasi budaya yang cerdas. Rempah dilihat sebagai "DNA" dari peradaban maritim Indonesia yang telah berinteraksi lintas benua jauh sebelum batas negara dibentuk. Pada 2024, ekspedisi budaya bertajuk Pelayaran Muhibah Jalur Rempah kembali digelar.
Sebanyak 149 pemuda dari 34 provinsi berlayar dengan KRI Dewaruci, menyusuri tujuh titik pelabuhan bersejarah dari Sabang hingga Malaka selama 38 hari. Ini bukan sekadar pelayaran simbolik, tapi cara konkret membangun narasi Indonesia sebagai episentrum rempah dunia. Kemudian, alat mempererat hubungan diplomatik dengan negara tetangga.
Diplomasi rempah bahkan telah mendapat sambutan positif. Pemerintah Malaysia menyebut ekspedisi ini sebagai simbol persahabatan budaya, sekaligus peluang pengembangan ekonomi kreatif dan pariwisata lintas negara.
Tantangan Strategis: Iklim, Pasar, dan Infrastruktur
Di balik geliat tersebut, terdapat sejumlah tantangan yang tak boleh diabaikan. Pertama, perubahan iklim menjadi faktor yang mengancam produktivitas rempah. Curah hujan ekstrem dan hama tanaman membuat hasil panen turun drastis di berbagai sentra produksi.
Kedua, harga rempah yang fluktuatif juga membuat petani rentan terhadap kerugian ketika pasar jatuh. Ketiga, masih banyak desa penghasil rempah yang belum memiliki akses memadai ke infrastruktur pendukung. Misalnya, jalan produksi, fasilitas pengeringan, dan penyimpanan.
Keterbatasan ini membuat kualitas rempah menurun saat masuk ke pasar global. Belum lagi soal pembiayaan dan permodalan untuk meningkatkan kualitas produk dan menjangkau pasar ekspor. Dalam konteks global, Indonesia juga menghadapi persaingan ketat dari negara lain seperti India dan Vietnam yang telah lebih dulu mengembangkan industri bumbu olahan dan farmasi berbasis rempah.
Untuk menjawab tantangan tersebut, dibutuhkan langkah konkret lintas sektor. Pertama-tama yang harus segera dikerjakan adalah program hilirisasi rempah harus dipercepat. Pemerintah perlu memberikan insentif fiskal kepada pelaku industri olahan, serta menyederhanakan regulasi ekspor bagi koperasi dan UMKM pengolah rempah.
Selanjutnya, program-program strategis seperti Desa Devisa oleh LPEI perlu diperluas. Hingga 2023, lebih dari 80 ribu petani dan perajin rempah telah mendapat pelatihan budidaya berkelanjutan dan akses pasar. Program ini efektif meningkatkan nilai tambah dan daya saing produk lokal. Hal lain adalah, digitalisasi pertanian rempah juga harus digalakkan.
E-marketplace, sistem informasi harga, serta teknologi pascapanen dapat membantu petani memutus rantai distribusi yang panjang dan meningkatkan pendapatan. Kemudian yang perlu diperkuat adalah diplomasi budaya seperti Jalur Rempah dan Laskar Rempah harus diarusutamakan dalam kebijakan luar negeri.
Warisan budaya ini bisa menjadi narasi global yang mendukung citra Indonesia sebagai negara agrikultur-maritim yang kreatif dan berdaulat secara budaya.
Membangun Masa Depan dari Akar Tradisi
Rempah Indonesia bukan sekadar warisan kuliner atau peninggalan sejarah, melainkan juga kunci strategis untuk menggerakkan perekonomian di masa depan. Dengan nilai ekspor yang terus meningkat dan teknologi pengolahan yang semakin modern, rempah menjadi simbol kekayaan alam.
Bahkan, modal ekonomi yang mendorong transformasi dari komoditas mentah menjadi produk dengan nilai tambah tinggi. Inovasi dalam produk herbal dan jamu, misalnya, telah membuka peluang pasar baru di kancah internasional.
Sementara riset tentang budidaya berkelanjutan turut memastikan ketahanan pasokan dalam menghadapi tantangan perubahan iklim. Bagi para pembuat kebijakan, hal ini menjadi momen krusial untuk menjadikan rempah sebagai prioritas lintas sektor.
Investasi lebih besar dalam infrastruktur hilirisasi, dari pembangunan fasilitas penyimpanan dan pengolahan hingga digitalisasi rantai distribusi, akan memungkinkan peningkatan nilai ekonomi rempah secara signifikan.
Selain itu, dukungan riset dan pengembangan di bidang agrikultur modern serta teknologi pascapanen sangat penting untuk meningkatkan mutu dan produktivitas. Pendekatan integratif yang melibatkan kementerian pertanian, perdagangan, perindustrian, dan pendidikan harus segera diimplementasikan.
Jadi, pelaku usaha dan petani mendapatkan akses terhadap modal, teknologi, serta pasar yang lebih luas. Dengan kebijakan yang sinergis dan berorientasi pada keberlanjutan, warisan rempah dapat mengangkat kesejahteraan petani dan masyarakat perdesaan. Kemudian, memacu pertumbuhan industri kreatif, dan menegaskan posisi Indonesia sebagai negara agraris yang berdaulat.